Laman

Rabu, 25 Maret 2009

Skenario itu perlu?

Banyak orang yang bertanya, kenapa harus ada skenario untuk membuat sebuah film bioskop, ataupun film televisi yang lazim disebut sinema elektronik ? Kenapa tidak bisa dibuat langsung dari novel, cerpen ataupun gagasan sendiri yang sudah ditulis ?

Apa sebenarnya beda sebuah skenario dengan tulisan cerita yang lain ? Sebuah novel juga memiliki tokoh-tokoh, lengkap dengan karakterisasinya, memiliki setting atau tempat kejadian, memiliki waktu, irama dan dramatic value, juga memiliki atmosfir yang sama dengan apa yang biasa kita tonton di bioskop ataupun di televisi. Bahkan lebih memberi kesempatan bagi pembaca, ber-imajinasi atau ber-illusi secara bebas. Kalau begitu kenapa harus skenario ?

Begitu banyak alat untuk menyampaikan berita, cerita atau bahkan sebuah misi sekalipun supaya bisa sampai kepada audience. Dan semua cara memiliki disiplinnya sendiri-sendiri. Bisa dengan tulisan, seperti berita dalam surat kabar, catatan perjalanan, cerita pendek ataupun novel. Dimana permainan kata sangat dominan untuk memikat dan mengikat pembacanya, mempengaruhi emosinya, sampai selesai dan tuntas seluruh pesan yang disampaikan oleh penulisnya.

Ada yang menyampaikannya secara oral, seperti seorang mubaligh yang berceramah, atau pendongeng yang bercerita, dengan suara yang ekspresif juga dengan ekspresi sang penceramah atau sang pendongeng, untuk mampu dengan effektip menyampaikan misinya kepada audiencenya. Yang lebih mendekati sebuah pertunjukan adalah sandiwara radio. Dia sudah memiliki plot cerita dengan kaidah-kaidah tertentu. Biasanya sudah dengan sound effect (effect suara), musik dan sebagainya.

Media penyampaian yang lebih dekat dengan yang akan menjadi pokok bahasan kita adalah Teater, atau sandiwara, drama, tooneel. Dia memiliki elemen pendukung yang mendekati sama, kecuali Cameraman, editor dan semua bentuk post productionnya.

Dan bentuk penyampaian pesan ataupun cerita yang menjadi pokok bahasan kita adalah media pandang dengar atau yang sudah akrab dengan sebutan FILM (Bioskop) maupun SINETRON (Televisi). Dimana seluruh informasi dan deskripsi sebuah cerita, disampaikan se maksimal mungkin hanya dengan gambar dan suara. Elemen tulisan, hanya merupakan tindakan keterpaksaan kalau informasi dengan gambar maupun suara dirasa kurang efektip.

Misalnya nama tempat atau kota tempat kejadian yang sangat kebetulan tidak memiliki Landmark yang sudah dikenal secara umum, misalnya kota Paris dengan menara Eiffel nya, London dengan Big band nya, Manhattan dengan patung Liberty nya, juga Jakarta dengan Monas nya, sementara dalam sebuah cerita ada kejadian di beberapa kota (yang masing-masing tidak memiliki Landmark), atau bisa jadi sebuah kota yang sebenarnya sudah terkenal tapi kejadiannya dimasa lampau. Maka dengan terpaksa dalam adegan kota tersebut diberi telop atau sub title misalnya: Batavia 1836.

Skenario adalah penerjemahan bahasa tulisan yang dimiliki NOVEL, CERPEN ataupun bahasa lisan DONGENG/KABA menjadi bahasa gambar dan suara yang ditulis dengan kaidah-kaidah dan idiom gambar yang lebih khusus dan spesifik.

Sebuah tayangan film maupun sinetron harus memikat dan mampu menahan penontonnya untuk tetap mengikutinya sampai selesai, dengan begitu misi dan isi dari cerita bisa sampai kepada penontonnya secara jelas dan tuntas. Untuk mencapai kesana, harus ada rancangan khusus yang dibuat secara detil, baik untuk cerita atau misi itu sendiri, maupun untuk acuan dari seluruh pekerja film/sinetron.

Karena sebuah film/sinetron sudah tidak lagi memberi kesempatan kepada penontonnya untuk ber illusi, maka skenario menjadi sangat berkewajiban untuk mengarahkan gambaran yang pa-ling efektip dan memiliki kandungan informasi maksimal lengkap untuk kepentingan cerita.

Skenario film/sinetron adalah sebuah blue print yang menjadi acuan bagi segenap pekerja (dalam hal ini Crew maupun pemain) dan bahkan produser, dalam mewujudkan sebuah film. Dia adalah patron yang nyaris lengkap, sehingga mampu untuk memberikan asumsi, apakah film yang akan dibuat ini, akan menarik atau tidak menarik. Apakah konflik dan kandungan dramatiknya cukup mampu memukau, atau sebaliknya.

Karena sebagai blue print, maka sebuah skenario harus jelas dan mudah dipahami oleh semua profesi yang tergabung dalam kolaborasi pembuatan sebuah film/sinetron.

Dengan membaca skenario, seorang Cameraman (juru kamera) segera tahu bahwa untuk scene tertentu dia memerlukan sejumlah lampu (lighting) atau bahkan lampu khusus, juga generator dengan kapasitas berapa kilo watt yang diperlukan, filter lampu apa yang dibutuhkan, apakah diperlukan sebuah dolly crane dan sebagainya, untuk memvisualisasikan apa yang dituntut oleh scene dalam skenario tersebut.

Pada scene/sequence yang sama seorang Art Director (Penata artistik) akan segera tahu set apa yang harus disiapkan, property (perlengkapan) mana yang seharusnya ada dan elemen effect tertentu yang harus diadakan, misalnya harus menyiapkan fog machine atau mesin pembuat kabut, karena scene tersebut adalah scene pagi hari dimana dalam skenaria dituliskan : Strall ma- tahari menyelusup lewat celah dedaunan membentuk garis-garis cahaya yang sangat indah.

Dalam sequence yang sama seorang Unit manager (Pimpinan unit) segera tahu siapa pemain yang harus di calling (panggilan shooting), berapa pemain tambahan (figurant) yang diperlukan, dengan begitu dia bisa menyuruh bagian catering untuk menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan sebagainya untuk seluruh crew dan pemain pada hari itu. Demikianpun untuk profesi yang lain, Sound man (juru suara), Music director dan juga Editor semua 'diarahkan' oleh sebuah skenario.

Dengan begitu, maka produser lewat Designer productionnya dan juga Manajer Unit (lapangan) selalu bisa memperkirakan, berapa rupiah nilai dari pengambilan gambar setiap scene/sequence dari sebuah skenario.

Sementara bagi kelompok kreatif, akan mampu mengetahui dramatic value pada setiap adegan.
Artinya sebuah Skenario, tiba-tiba menjadi sangat penting baik dari segi artistik maupun segi pembiayaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar