Laman

Rabu, 25 Maret 2009

Sekolah Itu Candu Sob...

Buat apa sekolah? Apakah sekolah hanya untuk mengisi kekosongan waktu di rumah? Atau barang kali tempat nongkrongnya anak muda zaman sekarang? Atau pun bahkan nantinya hanya untuk menghabiskan duit orang tua belaka? Peratanyaan subyektif yang mungkin sebagian orang pastilah akan mengerutkan dahi mereka masing-masing ketika mereka selalu bertanya-tanya, akan keberadaan dan fungsi dasar asli sekolah itu sendiri, sebenarnya apa sih yang diinginkan sekolah itu? Apakah dengan adanya sekolah kita dapat mengukur kemampuan dan menjamin masa depan kita? Apakah sekolah itu candu? Mari kita mengkaji ulang bersama!

Sekolah berasal dari bahasa aslinya yakni, skhole, scola, scolae, atau, schola (latin) yang bermakna “waktu senggang” atau “waktu luang” yang apabila kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia saat ini berarti “sekolah”. Sekolah yang menurut salah satu pakar psikologi pendidikan, Benjamin Bloom, yakni sekolah berarti suatu lembaga pendidikan yang menggarap tiga wilayah kepribadian manusia yang sering disebut “taksonomi pendidikan’’ Membentuk watak dan sikap (effective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatih keterampilan (psychomotoric atau conative domain).

sekolah sendiri berfungsi sebagai media pembentukkan generasi muda yang siap tahan banting di abad ini, lalu cobalah tengok dengan tingkat kualitatif pendidikan sekolah Indonesia, bagaimana ketika ratapan anak bangsa yang sudah sangat muak dengan pendidikan yang tek relevan lagi diaplikasikan, apakah sekolah kita hanya berfungsi mengisi hari-hari “menganggur” kita? Apakah pendidikan nasional saat ini tidak mempunyai tujuan progresif? Namun bagaimanapun juga, pada akhirnya kita juga menganggap sekolah adalah landasan krusial kita untuk mengadu nasib dalam menjalani birokrasi negara ini.

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, peran apakah yang dapat diandalkan oleh sekolah yang menjadi suatu kontribusi signifikan bagi kita sendiri? Lebih-lebih untuk negara ini tentunya, sudahkah diri kita menganggap mampu untuk mengubah keadaan sekarang ini. Sebut saja selama 18 tahun kita bersekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan duduk di bangku kuliah, masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, tidur, ataupun sesekali bercanda dengan teman, dan yang lebih penting mendengarkan guru yang saban hari ceramah di depan kelas, singkatnya, lewat sekolah seseorang dapat meraih jabatan atau pun cemoohan, ringkasnya juga, sekolah mampu mencetak para pejabat tapi juga penjahat.

Lalu apakah yang dapat kita petik hasil dari sekolah selama ini? Lebih-lebih saat ini muncul mekanisme baru dari pemerintah dalam KEPMEN pendidikan nasional NO 017/U 2003 tanggal 7 Februari 2003 pasal 10 ayat 4 yang menyatakan standar prosedur pelaksanaan ujian nasional dan pasal 10 ayat 3 tentang adanya ujian ulangan sebagai satu kesatuan rangkaian dari ujian akhir nasional yang tujuannya:

1.Memberikan kesempatan pada sisiwa yang tidak lulus untuk memperoleh surat tanda kelulusan (STK) dengan predikat lulus.
2. Memberikan kesempatan pada siswa yang telah lulus dan ingin memperbaiki predikat prestasinya untuk keperluan khusus.

Saya kira semua statemen pemerintah yang tersurat dalam SK (Surat Keputusan), di atas adalah “mungkin” niat yang disiratkan oleh petinggi-petinggi negara ini adalah tak lain adalah menguji, seberapa jauhkah kemampuan anak didiknya selama mengikuti orientasi kegiatan “sekolah”. Namun, coba bayangkan, apakah dengan adanya mekanisme baru di atas, bisa menjamin lulusan-lulusan siswa yang berkualitas dan berbobot yang mampu mengambil alih tongkat estafet bangsa ini, coba bayangkan lagi ketika beberapa musibah yang kerap sekali mengancam kestabilitasan negara, bagaimana perjuangan bangsa kita yang jatuh bangun, ketika pada awal bulan Juli tahun 1997, Indonesia terkena imbas krisis moneter yang menjadi awal kehancuran beberapa sektor pembangunan, yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kian menurun akibat deregulasi yang memacu pertumbuhan berbagai sejumlah bank.

Pemerintah sendiri terpaksa melikuidasi 16 bank yang dianggap tidak sehat, belum lagi dengan persoalan dalam negeri, mulai dari kasus KKN, divestasi sejumlah aset negara milik BUMN, pemberontakan di sana-sini, tindakan kriminalitas yang marak, serta yang terpenting lagi yakni sampai “dekadensi moral” para pelajarnya, mengingat maraknya westernisasi di kalangan remaja yang amat vital sekali dengan keselamatan dan dapat mengancam stabilitas bangsa, sehingga masih banyak lagi kasus yang lainnya yang dapat kita ambil kesimpulan bahwa, “bangsa ini sudah tidak kondusif lagi bagi rakyatnya!”


Bagaimana peran serta sekolah sebagai lembaga “penyelamat” dalam mengatasi hal seperti ini? Bukannya malah terus membebankan para siswa untuk saling beradu nasib satu sama lain demi mencapai “selembar” kertas tanda kelulusan dengan target nilai yang ditentukan, yang tak sedikit pula bisa dimanipulasikan oleh oknum-oknum tertentu, padahal tujuan suatu pendidikan bukanlah untuk mencari nilai semata, namun fungsi pendidikan adalah mewujudkan manusia madani yang berkualitas dan bermutu yang dapat berguna bagi masyarakatnya, di samping nilai sendiri sebagai barometer ukuran kemampuan yang diterima oleh para peserta didik dalam penyelengaraan, sehingga di sini apakah kita hanya mengejar nilai dan pengakuan belaka? Bagaimana dengan nasib siswa yang terbilang tidak “dapat” menerima STK? Apakah mereka akan menganggur di setiap sudut kota di sana? Dengan ratapan iming-iming. Tanpa menyadari arti asli belajar dan sekolah itu sendiri.

Belajar? Apa sih tujuan atau misi dan visi belajar itu? Apakah belajar itu perlu bagi kita? Belajar adalah suatu kegiatan untuk mengambil suatu ilmu yang dapat diaplikasikan dengan tujuan bermanfaat untuk orang lain, bagaimana dengan belajar dalam arti luas? Bukanlah hanya dalam bentuk formalitas yang saat ini diwujudkan dalam bentuk sekolah, konteksnya, belajar itu dapat saja berbentuk belajar mengendarai mobil, belajar menyulam, belajar memasak, belajar bermain, bahkan anak balita pun umur 2-3 tahun sudah mengenal arti belajar dengan cara belajar berdiri dan berjalan, itulah hakekat dasar belajar, jadi dapat menjadi suatu kegunanaan yang mutlak bagi si pembelajar.

Seseorang Albert Einstein yang dianggap bodoh di kelas, ataupun Thomas Alpha Edison yang bahasanya tidak bagus, dan rata-rata dari mereka tidak terlalu lama mengenyam pendidikan formal sekolah, bahkan mereka memilih untuk sekolah di rumah saja dengan arahan pendidikan seorang ibu dengan bermodalkan kemampuan otodidak semata, namun mereka mampu menjadi center panutan setiap ilmuwan di dunia.

Karena menurut Tetsuya Takeda, dunia ini memang penuh warna, dengan bakat yang tentu berbeda-beda, karena Tuhan menciptakan kita untuk selalu patuh padanya, seperti makna pepatah yang mengatkan iman tanpa ilmu buta, ilmu dan iman tanpa amal adalah hampa, yang kadang kala kita merenung, itulah sketsa kecil arti dari makna pendidikan itu sendiri, bagaimana mungkin kita dapat mengubah keadaan kita, jikalau pendidikan kilta akan terus menerus seperti ini, seorang siswa tanpa adanya didikan maupun stimulan yang baik pastilah tatanan bentuk pendidikan tak akan terwujud, sehingga kini saatnya sekolah harus urgen dalam menyikapinya, pemerintah hendaknya bersikap eksplisit dalam memberikan “surat keputusan” bukannya malah membuat siswa akan bertambah bingung mekanisme yang tak jelas dan tak memikirkan dampaknya terhadap jati diri generasi muda.


Akhirnya belajar adalah sesuatu yang amat perlu, namun sekolah akan menjadi candu ketika sistem kurikulum pendidikan akan seperti ini terus-menerus, pendidikan yang amat monoton! Sehingga oportunitas mere-form pendidikan sudah sangat jelas di depan mata, dengan mengambil alih dan mengandalkan perubahan yang seharusnya sinkron di semua sisi. Kita berharap pendidikan kita dapat merubah bangsa ini dari segala macam penyakit komplikasi yang melanda, itu juga tak lepas dari peran serta di segala lini, mulai dari komponen pemerintah sampai dengan rakyat bawah, kita tentunya berharap segala sesuatu dapat berjalan sesuai dengan keinginan kita bersama, jadi belajar itu memang perlu, namun sekolah itu candu, buktikan saja sendiri…!!! Wallahua’lam bisshawab

(Tulisan Ababil ane waktu kelas 2 SMU Tahun 2002 ketika menjadi Pimpinan Umum Redaksi Majalah Sekolah KARNISA 2001-2002)

Skenario itu perlu?

Banyak orang yang bertanya, kenapa harus ada skenario untuk membuat sebuah film bioskop, ataupun film televisi yang lazim disebut sinema elektronik ? Kenapa tidak bisa dibuat langsung dari novel, cerpen ataupun gagasan sendiri yang sudah ditulis ?

Apa sebenarnya beda sebuah skenario dengan tulisan cerita yang lain ? Sebuah novel juga memiliki tokoh-tokoh, lengkap dengan karakterisasinya, memiliki setting atau tempat kejadian, memiliki waktu, irama dan dramatic value, juga memiliki atmosfir yang sama dengan apa yang biasa kita tonton di bioskop ataupun di televisi. Bahkan lebih memberi kesempatan bagi pembaca, ber-imajinasi atau ber-illusi secara bebas. Kalau begitu kenapa harus skenario ?

Begitu banyak alat untuk menyampaikan berita, cerita atau bahkan sebuah misi sekalipun supaya bisa sampai kepada audience. Dan semua cara memiliki disiplinnya sendiri-sendiri. Bisa dengan tulisan, seperti berita dalam surat kabar, catatan perjalanan, cerita pendek ataupun novel. Dimana permainan kata sangat dominan untuk memikat dan mengikat pembacanya, mempengaruhi emosinya, sampai selesai dan tuntas seluruh pesan yang disampaikan oleh penulisnya.

Ada yang menyampaikannya secara oral, seperti seorang mubaligh yang berceramah, atau pendongeng yang bercerita, dengan suara yang ekspresif juga dengan ekspresi sang penceramah atau sang pendongeng, untuk mampu dengan effektip menyampaikan misinya kepada audiencenya. Yang lebih mendekati sebuah pertunjukan adalah sandiwara radio. Dia sudah memiliki plot cerita dengan kaidah-kaidah tertentu. Biasanya sudah dengan sound effect (effect suara), musik dan sebagainya.

Media penyampaian yang lebih dekat dengan yang akan menjadi pokok bahasan kita adalah Teater, atau sandiwara, drama, tooneel. Dia memiliki elemen pendukung yang mendekati sama, kecuali Cameraman, editor dan semua bentuk post productionnya.

Dan bentuk penyampaian pesan ataupun cerita yang menjadi pokok bahasan kita adalah media pandang dengar atau yang sudah akrab dengan sebutan FILM (Bioskop) maupun SINETRON (Televisi). Dimana seluruh informasi dan deskripsi sebuah cerita, disampaikan se maksimal mungkin hanya dengan gambar dan suara. Elemen tulisan, hanya merupakan tindakan keterpaksaan kalau informasi dengan gambar maupun suara dirasa kurang efektip.

Misalnya nama tempat atau kota tempat kejadian yang sangat kebetulan tidak memiliki Landmark yang sudah dikenal secara umum, misalnya kota Paris dengan menara Eiffel nya, London dengan Big band nya, Manhattan dengan patung Liberty nya, juga Jakarta dengan Monas nya, sementara dalam sebuah cerita ada kejadian di beberapa kota (yang masing-masing tidak memiliki Landmark), atau bisa jadi sebuah kota yang sebenarnya sudah terkenal tapi kejadiannya dimasa lampau. Maka dengan terpaksa dalam adegan kota tersebut diberi telop atau sub title misalnya: Batavia 1836.

Skenario adalah penerjemahan bahasa tulisan yang dimiliki NOVEL, CERPEN ataupun bahasa lisan DONGENG/KABA menjadi bahasa gambar dan suara yang ditulis dengan kaidah-kaidah dan idiom gambar yang lebih khusus dan spesifik.

Sebuah tayangan film maupun sinetron harus memikat dan mampu menahan penontonnya untuk tetap mengikutinya sampai selesai, dengan begitu misi dan isi dari cerita bisa sampai kepada penontonnya secara jelas dan tuntas. Untuk mencapai kesana, harus ada rancangan khusus yang dibuat secara detil, baik untuk cerita atau misi itu sendiri, maupun untuk acuan dari seluruh pekerja film/sinetron.

Karena sebuah film/sinetron sudah tidak lagi memberi kesempatan kepada penontonnya untuk ber illusi, maka skenario menjadi sangat berkewajiban untuk mengarahkan gambaran yang pa-ling efektip dan memiliki kandungan informasi maksimal lengkap untuk kepentingan cerita.

Skenario film/sinetron adalah sebuah blue print yang menjadi acuan bagi segenap pekerja (dalam hal ini Crew maupun pemain) dan bahkan produser, dalam mewujudkan sebuah film. Dia adalah patron yang nyaris lengkap, sehingga mampu untuk memberikan asumsi, apakah film yang akan dibuat ini, akan menarik atau tidak menarik. Apakah konflik dan kandungan dramatiknya cukup mampu memukau, atau sebaliknya.

Karena sebagai blue print, maka sebuah skenario harus jelas dan mudah dipahami oleh semua profesi yang tergabung dalam kolaborasi pembuatan sebuah film/sinetron.

Dengan membaca skenario, seorang Cameraman (juru kamera) segera tahu bahwa untuk scene tertentu dia memerlukan sejumlah lampu (lighting) atau bahkan lampu khusus, juga generator dengan kapasitas berapa kilo watt yang diperlukan, filter lampu apa yang dibutuhkan, apakah diperlukan sebuah dolly crane dan sebagainya, untuk memvisualisasikan apa yang dituntut oleh scene dalam skenario tersebut.

Pada scene/sequence yang sama seorang Art Director (Penata artistik) akan segera tahu set apa yang harus disiapkan, property (perlengkapan) mana yang seharusnya ada dan elemen effect tertentu yang harus diadakan, misalnya harus menyiapkan fog machine atau mesin pembuat kabut, karena scene tersebut adalah scene pagi hari dimana dalam skenaria dituliskan : Strall ma- tahari menyelusup lewat celah dedaunan membentuk garis-garis cahaya yang sangat indah.

Dalam sequence yang sama seorang Unit manager (Pimpinan unit) segera tahu siapa pemain yang harus di calling (panggilan shooting), berapa pemain tambahan (figurant) yang diperlukan, dengan begitu dia bisa menyuruh bagian catering untuk menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan sebagainya untuk seluruh crew dan pemain pada hari itu. Demikianpun untuk profesi yang lain, Sound man (juru suara), Music director dan juga Editor semua 'diarahkan' oleh sebuah skenario.

Dengan begitu, maka produser lewat Designer productionnya dan juga Manajer Unit (lapangan) selalu bisa memperkirakan, berapa rupiah nilai dari pengambilan gambar setiap scene/sequence dari sebuah skenario.

Sementara bagi kelompok kreatif, akan mampu mengetahui dramatic value pada setiap adegan.
Artinya sebuah Skenario, tiba-tiba menjadi sangat penting baik dari segi artistik maupun segi pembiayaannya.